Senin, 22 April 2013

Remaja Indonesia Rentan Tuli

ilustrasi foto zacky

Alat pemutar musik digital dari gadget seperti iPod, telepon genggam, dan tablet yang sangat populer saat ini serta kebiasaan remaja mendengarkan musik sepanjang hari dengan suara keras melalui earphone  atau headphone (alat pendengar yang ditempatkan di telinga), menjadi salah satu penyebab remaja rentan mengalami ketulian. Demikian dikatakan Ketua Komite Nasional (Komnas) Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT), Damayanti Soetjipto, dalam perbincangan dengan Radio DMWS Kupang pada program Special Talkshow.

Damayanti mengungkapkan, menurut sebuah penelitian di Amerika, 5,2 juta (12%) anak Amerika usai enam sampai 19 tahun menderita gangguan pendengaran, dan mereka ini disebut iPod Generation. “Melihat kondisi dan perkembangan teknologi saat ini, dan jika kita tidak mengantisipasi dari sekarang, bukan tidak mungkin anak-anak Indonesia akan mengalami hal yang sama, yaitu gangguan pendengaran dan ketulian dini,”katanya.

Ditambahkan Damayanti, tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, mal, bioskop, dan tempat hiburan juga berpotensi menimbulkan bising telinga. Batas mendengarkan suara yang aman adalah tidak lebih dari 80 dB. “Jika anak-anak kita pendengarannya selalu diterpa suara bising di atas batas tersebut, maka dalam waktu lima tahun ke depan, kita akan memiliki generasi ‘Hah?’ dan ‘Apa?’,” jelasnya.

Damayanti menjelaskan, ketulian adalah kecacatan yang tidak kelihatan dan orang yang menderitanya terlihat normal-normasl saja, sehingga banyak pihak kurang begitu perhatian dengan gangguan ini. Padahal sebenarnya dampak dari ketulian ini sangat besar bagi perkembangan penderitanya. “Bayangkan anak sekolah atau remaja yang sedang dalam masa menyerap ilmu pengetahuan, mereka tuli, bagaimana mereka bisa belajar dengan baik, jika susah mendengarkan gurunya.  Anak jadi sulit belajar, komunikasi terganggung, kurang cerdas, tidak naik kelas, dan sulit mencapai tingkat pendidikan tinggi. Hal-hal ini menyebabkan masa depan mereka menjadi suram,” tambahnya.

Sementara Ketua Telinga Hati (lembaga yang perhatian terhadap kampanye mengurangi kebisingan), Atieq SS Listyowati, mengatakan gangguan pendengaran dan ketulian bagi remaja selain dari mendengarkan musik yang keras adalah kebisingan yang terjadi pada lingkungan sekolah, terutama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Politeknik jurusan mesin.

Telinga Hati dan Komnas PGPKT pernah melalukan pengukuran di bengkel mesin sebuah Politeknik, hasilnya adalah tingkat kebisingan mesin yang digunakan untuk praktek berada di atas 100 dB (deciBel). Sedangkan para siswa yang melaukan praktek tidak menggunakan pelindung telinga (earmuff). “Setiap kali mereka praktek bisa mencapai delapan jam. Padahal manusia hanya bisa mendengarkan suara bising seperti itu selama 15 menit saja. Jadi kalo sudah lebih dari itu dan terjadi terus menerus, maka bisa dipastikan organ pendengaran dalam telinga mereka akan rusak,” kata Atieq. (zacky w fagih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar