Minggu, 08 Juni 2014

Pameran Sketsa + “Pe(s)ta Demokrasi” Yusuf Susilo Hartono MEMBACA PETA DEMOKRASI DI TENGAH PESTA


Sketsa karya YSH yang dipamerkan.

Di tengah hiruk pikuk kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Yusuf Susilo Hartono (YSH), perupa berbasis wartawan, akan menggelar pameran Sketsa + (baca: plus), pada 11-17 Juni 2014 di Galeri Nasional Indonesia, dengan mengusung tajuk PE(S)TA DEMOKRASI.

Menurut YSH, tajuk ini bermakna ganda, bisa dibaca Pesta dan Peta, yang masing-masing memiliki kandungan makna berbeda. Berangkat dari situlah, ia akan membaca peta demokrasi di tengah pesta demokrasi Tanah Air.

Dalam pembacaannya itu, YSH menggunakan sketsa hitam putihnya yang khas itu, juga gambar,  lukisan, dan instalasi, yang dibuat dalam rentang waktu 1998 - 2014. Karya-karyanya yang digarap dengan medium tinta China di atas kertas, akrilik di atas kanvas, dan medium camputan tersebut akan dipajang di tiga ruangan Gedung B, Galeri Nasional Indonesia.

Pada ruangan pertama akan dipajang sketsa-sketsanya yang dibuat semasa reformasi, terutama yang mengabadikan demonstrasi mahasiswa di kompleks DPR-RI, disusul kebangkitan Tionghoa, masa kampaye Pileg,  Megawati “terbang” bersama Capres Jokowi, berhadapan dengan Capres Prabowo naik kuda sambil menyengkelit keris, dan Anas Urbaningrum dimarahi Sengkuni, serta Titiek Soeharto dengan baju kuning berhasil masuk Senayan (kebangkitan dinasti Soeharto-kah?).

Ruangan kedua menampilkan karya-karya yang menggambarkan upaya caleg menyembah batu, sampai pohon, untuk mencari kemenangan. Golput yang meningkat jumlahnya ditengah politik transaksional, dan “suara rakyat, suara caleg, adalah suara uang.” Maka pantas banyak caleg yang stress, karena tidak gol, sementara hutangnya menumpuk. Bagi yang berhasil, diharapkan tidak mengikuti jejak pendahulunya yang korup, sehingga masuk penjara. Ada yang insyaf, ada yang tidak.

Sketsa karya YSH yang dipamerkan.
Ruangan ketiga, gelap. Pada empat sisi dinding hitam bergambar gedung DPR, KPK, Istana hingga MK, terdapat sebuah sosok tertegun di bawah tali-tali yang biasa untuk menghukum gantung. Dan dari salah satu sudut ruangan, nampak lukisan seorang hakim (masih menggunakan pakaian kebesaran) yang diborgol tangan dan kakinya. Dibelakang kepalanya ada tali gantungan yang siap menanti.

Dari Siaran Pers YSH yang diterima Radio DMWS, Suwarno Wisetrotomo, Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dalam tulisan kuratorialnya,  bertanya, ”Apakah situasi gelap pekat tragis itu akhir dan buah dari pesta demokrasi?” Ia menjawab sendiri, “Jika jawabannya ya, tentu saja itu sebagian dari realitas yang terjadi di negeri ini, dan ‘sekadar’ perspektif buram dari seorang YSH. Mungkin, karena saking masifnya praktek curang, culas, dan rakus yang melanda siapapun dan di posisi apapaun (bahkan para petingginya), maka YSH sampai kehilangan rasa humor dalam melihat dan memahami realitas politik negeri ini.”

Reportase Visual

Menurut pengamatan Suwarno, salah satu Kurator Galeri Nasional Indonesia, YSH rupanya bukan jurnalis biasa. Tak cukup hanya merekam dan melaporkan peristiwa melalui tulisan, tetapi juga merekam dan melaporkannya melalui sketsa dan gambar-gambar, serta lukisan.. Karena YSH bukan jurnalis biasa, maka kisi-kisi reportase semacam itu, bisa ia atasi dengan baik, atau setidaknya berkelit. Caranya, ia luapkan melalui ‘bahasa gambar’. Setidaknya, YSH bisa ‘mengatakan’ dan ‘mengungkapkan’ apa saja, bahkan termasuk opini-opininya, melalui karya-karya seni rupa. Atau bahkan, melalui sejumlah gambar atau lukisan,  sepenuhnya ia bisa beropini, bisa sepenuhnya melakukan kritik keras, atau sebaliknya puja-puji. Karena pada dasarnya, sebuah gambar terkandung kata dan makna berganda-ganda, dibandingkan dengan sebuah tulisan beberapa halaman.

Akan tetapi di situlah pada akhirnya letak persoalannya. Keduanya membutuhkan ketrampilan yang prima. Menulis harus trampil menyusun kata dan kalimat, untuk menunjukkan jalan pikiran yang tertata/terstruktur, serta menghadirkan fakta dan data yang terpercaya. Menggambar harus terampil menguasai elemen-elemen dasar, kemudian menaklukkannya sebagai ‘bahasa’, agar pikiran, pendapat, kegelisahan, kekecewaan, cinta, opini, dan sejenisnya dapat dihadirkan melalui pilihan garis dan bentuk yang tepat.

Ketika YSH membuat laporan untuk media, wajib menghadirkan fakta dan data yang valid, sedapat mungkin ia menghindari pernyataan-pernyataan yang ambigu, yang dapat memancing tafsir ganda. Semuanya tersusun dari data dan fakta peristiwa yang tepat dan akurat. Sementara itu, dalam berolah gambar – yang terwujud menjadi sketsa atau lukisan – justru ia berada dalam ruang kreatif untuk memproduksi ambiguitas itu. Ia memiliki keleluasaan untuk membuat keputusan; menggubah bentuk-bentuk yang berfungsi untuk ‘menggambarkan’, ‘melambangkan’, atau ‘menyimbolkan’ perihal peristiwa yang direkamnya. YSH bisa menumpahknan kritiknya, kemarahannya, kekecewaannya, atau kekagumannya terhadap sosok, atau peristiwa tertentu. Bahkan, melampaui sebuah laporan jurnalistik, dalam gambar-gambarnya itu, YSH berpeluang menempatkan opini-opininya pada urutan pertama (meski tidak selalu demikian).  Karena itu, karya-karya YSH dapat saya sebut sebagai reportase visual.

“Karya-katya sketsa, gambar, dan lukisan YSH sesungguhnya tetap bertumpu pada naluri jurnalistiknya. Pada dasarnya, seorang jurnalis adalah seorang pewarta; seorang yang mengabarkan tentang suatu peristiwa, dan sosok-sosok dalam peristiwa tersebut,” tandas Suwarno.

Setelah Keliling Tiga Kota

Yusuf Susilo Hartono (YSH) sudah memiliki pengalaman panjang dalam dunia jurnalistik dan seni rupa. Pameran bertajuk PE(S)TA DEMOKRASI, di Galeri Nasional Indonesia ini adalah pameran tunggalnya yang ke-10 (sejak 1982). Sebelumnya ia menggelar pameran tunggal keliling tiga kota; Jakarta, Surabaya, dan Bojonegoro dalam rentang waktu 15 November sampai dengan 31 Desember 2013, yang dilengkapi dengan peluncuran buku Moment and Essence, berisi kumpulan sketsa pilihan 1982-2013. Pameran lainnya antara lain Pameran Sketsa Jurnalistik (1990), Jejak Jepang dalam Sketsa (2002), Refleksi 20 Tahun Berkarya (2002). Ia juga seorang penyair, yang kumpulan puisi berbahasa Jawa, Ombak Wengi (2011) mendapatkan “Penghargaan Rancage 2012”, sebagai buku sastra Jawa terbaik. YSH pernah pula dalam waktu yang panjang, terus mengabadikan berbagai pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), hingga luar negeri,  dengan berbagai sketsa. (zacky wahyudi fagih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar